PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A.
Pendahuluan
Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan
nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa yang dapat
dikonsumsi.Disamping itu, globaliasai dan perdagangan bebas yang didukung oleh
kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak
arus transaksi barang atau jasa melintasi batas batas wilayah suatu Negara,
sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri
maupun produksi dalam negeri.
Kondisi demikina,
disatu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen
mengenai barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai
keinginan dan kemampuan konsumen. Namun dilain sisi, kondisi dan fenomena
tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak
seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek
aktivitas bisnis untuk meraup keutungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha
melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan. Dalam hal ini yang
menjadi kelemahan konsumen, factor utamanya adalah tingkat kesadaran konsumen
akan haknya masih rendah. Ini karena disebabkan oleh rendahnya pendidikan
konsumen.Oleh karena itu konsumen perlu diberdayakan.Terlebih ketika para
pelaku usaha menggunakan prinsip ekonomi yakni bagaimana mendapatkan keuntungan
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.Prinsip ekonomi ini sangant
potensial merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Berdasarkan kondisi sebagaimana dipaparkan tersebut, maka
perlu adanya pemberdayaan konsumen melalui seperangkat peraturan/undang-undang
yang tujuannya melindungi kepentingan konsumen dan bukan untuk mematikan usaha
para pelaku usaha namun justru sebaliknya agar dapat mendorong iklim usaha yang
sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi
persaingan melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas, dan
undang-undang diharapkan dapat secara intensif, komprehensif dan secara efektif
dapat diterapkan pada masyarakat.
Maka dalam rangka untuk dapat terciptanya perekonomian yang sehat, yang dapat mewujudkan adanya
keseimbangan dalam memberikan perlindungan hokum bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha, maka dibentuklah sebuah aturan untuk menjawab permasalahan
tersebut, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 20 april 1999 oleh Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie dan mulai berlaku setelah 1 ( satu ) tahun sejak
diundangkannya yaitu pada tanggal 20 april 2000. UU ini tercantum dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.
Undang-undang perlindungan konsumen ini dirumuskan dengan
mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hokum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen, adalah dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
Pancasila dan Konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945.
Sebelum UU perlindugan konsumen ini dibentuk, sebenarnya
sudah ada beberapa undang-undang yang
materinya mengatur mengenai perlindungan konsumen, yaitu
1. Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang barang, menjadi undang-undang
2. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene
3. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
4. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
5. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
6. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
7. Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
8. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagan dan Industri ( KADIN )
9. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
10. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement establishing The World Trade Organization
( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia )
11. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
12. Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
13. Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
14. Undang-undang
Nomor …. Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak
Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang
Hygiene
15. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten
16. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989
tentang Merek
17. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
18. Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
19. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
20. Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
B. PENGERTIAN- PENGERTIAN
Ada beberapa hal yang harus diketahui atau dimengerti oleh
para pelaku usaha dan juga konsumen berkaitan dengan kewajiban maupun
hak-haknya sebagai konsumen maupun sebagai pelaku usaha terlebih dalam rangka
untuk mendapatkan perlindungan hokum dan posisi tawar yang seimbang antara kedua belah pihak.
Yang dimaksud dengan Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.( sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
ayat 1 UU Perlindungan Konsumen ).
Pengertian Konsumenadalah
setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun bagi makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagankan. Didalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
konsumen akhir dan konsumen antara.Konsumen
akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu prodak, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Dan dalam undang-undang ini yang dimaksud adalah konsumen akhir (
penjelasan pasal 1 angka 2 ).
Sedangkan Pelaku
Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Yang
termasuk pelaku usaha dalam pengertian ini adalah : perusahaan, korporasi,
BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain ( penjelasan
pasal 1 angka 3 )
Yang dimaksud “barang”
dalam Undang-undang ini adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dihabiskan, yang dapat untuk diperdagankan, dipakai, dipergunakan atau
dimanfaatkan oleh konsumen. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa segala macam jenis
barang bisa masuk dalam kategori yang bisa mendapatkan perlindungan hukum
menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini ( dapat ditafsirkan secara luas ).
Sedangkan “jasa” adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen.Pengertian jasa inipun tidak dibatasi oleh
Undang-undang.Misalnya saja, jasa dalam bidang kesehatan/medis, pendidikan baik
yang bersifat umum maupun agama, konstruksi, konsultan, dll.
Promosiadalah
kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barangdan/atau jasa
untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan
sedang diperdagangkan. Dalam bidang pemasaran promosi merupakan salah satu hal
yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dalam menjual suatu produk,
dengan adanya promosi yang baik maka diharapkan produk akan terjual sesuai
dengan target atau bahkan bisa lebih.
Impor
barangadalah kegiatan memasukkan barang ke dalam
daerah pabean.Sedangkan impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk
digunakan didalam wilayah Republik Indonesia.
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
Klausula
Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang
bertugas menangani dan menyelesaikan
sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang
dibentuk untuk membantu upaya
pengembangan perlindungan konsumen.
Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
C. AZAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN
TERHADAP KONSUMEN
UU
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik
untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi. Azas-azas perlindungan konsumen antara lain sebagai berikut.
·
Azas manfaat
Azas
manfaat adalah upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
·
Azas keadilan.
Azas
keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pada pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dalam melaksanakan kewajiban secara adil.
·
Azas keseimbangan.
Azas
keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintahan dalam arti materil dan spritual.
·
Azas keamanan dan keselamatan
dalam konsumen.
Azas
keamanan dan keselamatan dalam konsumen adalah untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemamfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·
Azas kepastian hukum.
Azas
kepastian hukum yakni baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin
kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen, antara lain
sebagai berikut.
·
Mementingkan kesadaran,
kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·
Mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan
/atau jasa.
·
Meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, dan menentukan dan menuntut hak-hak sebagai konsumen.
·
Menumbuhkan kesadaran pelaku
usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang
jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·
Menetapkan sistem perlindungan
konsumen yang mnegandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akses untuk mendafatkan informasi.
·
Meningkatkan kualitas barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
D. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN
PELAKU USAHA
Berdasarkan UU no. 8
tahun 1999 Pasal 4 dan 5, hak dan kewajiban konsumen, antara lain dijelaskan
sebagai berikut.
·
Hak
Konsumen Meliputi
a)
Hak atas kenyamanan, keamanan
dan keselamatan dama mengkonsumsi barang dan/ atau jasa.
b)
Hak untuk memilih barang
dan/atau jasa serta mendafatkan barang dan/atau jasa , senilai dengan nilai
tukar dalam kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Hak
atas informasi yang bernar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
d)
Hak untuk mendengar pendapat
dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
e)
Hak untuk mendapatkan advokasi
dalam upaya penyelesaian sengketa.
f)
Hak untuk mendapatkan pembinaan
dan pendidikan konsumen.
g)
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasar suku, agama, budaya,
daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya, hak untuk
mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan pertauran perundangan
lainnya.
·
Kewajiban
Konsumen Antara Lain
a)
Membaca , mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan baran dan/atau jasa demi
keamanan dak keselamatan,
b)
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa,
c)
Membayar sesuai dengan nilai
tukar yang dispekati dan,
d)
Mengikuti upaya penyelesaian
hokum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
·
Hak
Pelaku Usaha Antara Lain :
a)
Hak untuk menerima pembayaran
yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan
b)
Hak mendapat perlindungan hokum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c)
Hak untuk melakukan pembelaan
diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
d)
Hak untuk reabilitasi nama
baik, dan
e)
Hak-hak lain yang diatur
perundangan lainnya.
·
Kewajiban
Pelaku Usaha Antara Lain :
a)
Beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usaha,
b)
Melakukan informasi yang benar,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c)
Memperlakukan atau melayani
konsumen, secara benar dan jujur serta tidak diskrimanitaf, pelaku usaha
dilarang membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku usaha dilarang
membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen , menjamin mutu barang dan/atau
jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan atau jasa yang berlaku.
d)
Memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan atau jasa tertentu serta member jaminan atau garansiatau barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan ; dengan member konpensasi ganti rugi
dan/atau pengantia apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimamfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian.
E.
Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Pada UU No. 8 Tahun 1999
Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 dijelaskan mengenai perbuatan hukum yang diarang bagi pelaku
usaha, antara lain :
a)
Larangan dalam memproduksi
/memperdagangkan . pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/jasa misalnya :
·
Tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundangan;
·
Tidak sesuai dengan berat
bersih, isi bersih atau neto dan jumlah dalam hitungan sebagai mana yang
dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
Tidak sesuai dengan ukuran,
takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·
Tidak sesuai dengan kondisi ,
jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label,
etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak sesuai dengan janji yang
dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan , atau promosi penjualan
barang dan atau jasa tersebut
·
Tidak sesuai dengan mutu,
tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu
sebagaiman dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
·
Tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa;
·
Tidak mengikuti ketentuan
berproduksi secara halal;
·
Tidak memasang label tetang
penjelasan barang seperti ukuran, berat, isi bersih, komposisi dan lain-lain;
dan
·
Tidak mencantumkan informasi
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
b)
Larangan dalam
menawarkan/mempromosikan/mengiklankan. Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan
atau seolah-olah:
·
Barang tersebut telah memenuhi
dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya
atau mode tertentu, karesteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
·
Barang tersebut dalam keadaan
baik dan/atau baru;
·
Barang dan/jasa tersebut telah
mendapat dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
·
Barang dan/atau jasa tersebut
dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi;
·
Barang dan/atau jasa tersebut
tersedia;
·
Barang tersebut tidak
mengandung cacat tersembunyi;
·
Barang tersebut berasal dari
daerah tertentu;
·
Secara tidak langsung atau
langsung merendahkan barang dan/jasa lain.
·
Menggunakan kata-kata yang
berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek
sampingan tanpa keterangan yang lengkap; dan menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
c)
Larangan dalam penjualan secara
obral/lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan
melalui cara obral/lelang, dilarang mengelabui /menyesatkan konsumen, antara
lain ;
·
Menyatakan barang dan/jasa
tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu;
·
Menytakan barang dan/jasa
tersebut seolah-olah tidak menandung cacat tersembunyi;
·
Tidak berniat untuk menjula
barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain;
·
Tidak menyediakan barang dalam
jumlah tertentu dan/atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
·
Tidak menyediakan barang dalam
jumlah tertentu dan/atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
·
Tidak menyediakan barang dalam
kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang
lain;
·
Menaikan harag atau tarif
barang dan/jasa sebelum melakukan obral.
d)
Larangan dakam periklanan
Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, mislanya:
·
Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, keagunan, dan harga barang dan/atau tarif jasa,
serta ketepatan waktu penerimaan barang dan jasa ;
·
Mengelabui jaminan/garansi
terhadap barang dan/atau jasa ;
·
Memuat informasi yang keliru,
salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
·
Tidak memuat informasi mengenai
risiko pemakaian barang dan/atau jasa
·
Mengeksploitasi kejadian
dan/atau seorang tanpa iseizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
·
Melanggar etika dan/atau jasa
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perikatan.
F. Tentang Klausa baku
Ø
Klausula baku
Klausula baku atau kontrak standar yang sekarang
berlaku di Indonesia mengakibatkan kerugian pada konsumen, dan lebih memberikan
keuntungan bagi produsen. Klausula baku atau kontrak standar adalah setiap
regulasi dan kondisi yang terlebih dahulu disiapkan dan ditentukan oleh
pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen yang mengikat konsumen.
Contohnya, kontrak standar jual-beli rumah yang sudah baku dipersiapkan oleh
produsen rumah lebih dulu, konsumen tinggal tanda-tangan dan tidak diberi
kesempatan untuk mengubah jika konsumen tidak setuju, sehingga kontrak ini
menjadi sema-cam take it or leave it
contract.
UUPK ini lebih prokonsumen karena mengatur
pembuatan klausula baku atau kontrak standar. Dalam penjelasan Pasal 18 UUPK,
dikatakan bahwa larangan untuk memasukkan klausula baku yang mengandung sesuatu
yang akan mengakibatkan kerugian konsumen, dimaksudkan untuk menempatkan
konsumen sejajar dengan pengusaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
UUPK memberikan batas agar klausula baku tidak
dibuat hanya mementingkan pihak penyedia jasa saja.Dalam UUPK, paling tidak ada
empat pokok penting tentang persyaratan untuk memasukkan klausula baku, satu di
antaranya, pengusaha dilarang memasukkan klausula baku pada tempat atau dalam
bentuk yang sulit dilihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau dengan
penyataan yang sulit dipahami. Pengusaha yang masih memasukkan klausula baku
yang berisi dokumen yang dilarang akan dikenai hukuman penjara maksimum lima
tahun atau didenda maksimum dua milyar rupiah.
Ø Adanya Bentuk Klausula Baku
Dalam Perjanjian
Di
dalam pasal 18 UU Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausala baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian, antara
lain;
·
Menyatakan pengalihan tanggung
jawab pelaku usaha;
·
Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
·
Menyatakan bahwa pelaku usaha
berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau
jasa yang dibeli konsumen;
·
Menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara
angsuran;
·
Mengatur prihal pembuktian atas
hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
·
Memberi hak kepada pelaku usaha
untuk mengurangi manfaat jasa atau atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang
menjadi objek jual beli jasa;
·
Menyatakan tunduknya konsumen
pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
·
Menyatakan bahwa konsumen
memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebananhak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha dilarang
mencantumkan kalusula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti sebagai
konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
dalam dokumen atau perjanjiannya memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah
batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan
klausula baku yang dibuatnya yang bertentengan dengan undang-undang.
Pasal 1 angka 10 UUPK
menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
pejanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Menurut Munir Fuady
(2003), kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah
satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak
dalam bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika
kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisi data-data
informatif tertentu saja dengan sedikti atau tanpa perubahan dalam
klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai
kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah
klausula-klausula yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya
kontrak baku sangat berat sebelah.
Menurut Endang Purwaningsih
(2010), sebenarnya kontrak baku dibuat secara standar oleh salah satu pihak
yang secara psikologis ekonomis berada
dalam keudukan yang lebih tinggi. Hal ini tetntu saja sangat merugikan
konsumen, tetapi demi kepentingan bisnis, meskipun kedudukan konsumen lemah,
oleh Karen dinamika kebutuhan ekonomi dewasa ini, maka kontrka baku seakan
telah menjadi biasa dan dimaklumi adanya. Dalam hal ini, banyak pihak
mempertimbangkan apakah dengan adanya
tanda tangan konsumen, maka telah ada kesepakatan sebagai syarat sahnya
perjanjian. Ingatlah bahwa perkembangan dewasa ini hanya dengan tindakan tepat
dan cepat : take it or leave it. Ini tentu sangat membantu oprasional bisnis
dan mengurangi biaya.
Dalam kontrak baku
dikenal klausula ekonerasi bahwa dalam suatu perjanjian dicantumkan klausula
yang menyatakan salah satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajiban
membayar ganti rugi yang mungkin terjadi. Klausula ini biasanya hanya sebai
tambahan dalam perjanjian.
G. TANGGUNG JAWAB PRODUK
Hukum tentang tanggung
jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi
dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur
kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium
caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku
caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk)
baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika
Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara
besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual
(seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan
adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap
konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang
secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab
produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga
termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan
binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan
yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate
(mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk
dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi
secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut
Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or
non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third
party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan
Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of
distribution of a product to a person injured by the use of product. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product
liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan
yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari
produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan
para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut
sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan
kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun
harta benda.
Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat
secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product
liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan
KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak
produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban
tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk
memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan
ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak
berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh
karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak
tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak
(strict liability principle).
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak
ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang
cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan
ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan, tanggung gugat produk timbuk dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “produk
yang cacat”, bias dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di
dalama UU No 8 Tahun 1999, pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku
usaha terhadap produk yang dihasilkan
atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerugian konsumen. Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa
pengembalian uang, penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, perawatan kesahatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara
itu, Pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana
telah diatur dalam pasal 19. Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen
menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak dan/atau
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23, dapat
digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan di tempat kedudukan.
Di
dalam pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tangung
jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
·
Barang tersebut terbukti seharusnya
tidak dideadarkan atau tidak dimaksud untuk dieadarkan;
·
Cacat barang timbul dikemudian
hari
·
Cacat timbul akibat ditaatinya
ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·
Kelalaian yang diakibatkan oleh
konsumen; dan
·
Lewatnya jangka waktu
penuntutuan 4 bulan sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang
diperjanjikan.
Setiap perbuatan produsen (pelaku usaha)
yang menghasilkan suatu produk dan produknya digunakan oleh pengguna atau
dikonsumsi oleh konsumen dan ternyata merugikan pengguna atau konsumen dan
orang lain, produsen bertangung jawab mutlak tanpa mempersoalkan kesalahan
(strict hability) untuk mengganti kerugian kepada pengguna atau konsumen dan
orang lain yang dirugikan. Tangung jawab mengganti kerugian itu didasarkan pada
ketentuan pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab produsen ini dalam kajian hukum
terkenal dengan doktrin tanggung jawab produk (product liability), yang
digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), tetapi
disertai tanggung jawab mutlak (Abdul Kadir Muhammad : 2006). Selanjutnya,
Abdul kadir Muhammad (2006) juga memerinci unsur-unsur tanggung jawab produk
dan bentuknya sebagai berikut.
Ø Unsur-unsur tangung jawab
produk
a)
Produsen (pelaku usaha)
Produsen
adalah orang yang menjalankan usaha (bisnis) membuat atau menghaslkan suatu
produk untuk kesejahteraan masyarakat ,
oleh karena itu produsen disebut juga pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha
pada tanggung jawab produk lebih khusus daripada pelaku perbuatan yang lebih
umum pada perbuatan melawan hukum. Kekhususannya pada tanggung jawab produk,
produsen adalah pelaku usaha karena melakukan kegiatan usaha bidang industri
dan jasa, berbasis science and technology dan standar mutu produk, sdangkan
pada perbuatan melanggar hukum, pelaku perbuatan dapat berupa siapa saja tanpa
mempersoalkan keahlian tertentu.
b)
Perbuatan produsen.
Perbuatan
produsen adalah suatu rangkaian kegiatan usaha yang bertujuan menghasilkan
suatu produk yang berguna bagi kesajahteraan manusia. Kegiatan usaha tersebut
merupakan suatu proses pengolahan bahan mentah menjadi produk siap pakai yang
dapat dikonsumsi atau digunakan oleh manusia dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Proses pengolahan bahan mentah menjadi produk dapat
dilakukan secara manufaktur, dafat juga secara nonmanufaktur . dalam proses ini
kemungkinan dapat terjadi kesalaha atau kurang hati-hati yang dapat
mengakibatkan standar mutu produk tidak terpenuhi sehingga muncul keadaan cacat
produk.
c)
Produk hasil karya produsen.
Produk
adalah hasil karya pelaku usaha yang dibuat melalui proses manufaktur atau
nonmanufaktur dengan menggnakan alat tertentu. Didukung oleh keahlian khusus,
pengalaman serta kejujuran berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada
tanggung jawab produk, perhatian terpokus pada kualitas poduk karya produsen memenuhi atau tidak memenuhi tujuan
pembuatannya bagi konsumen. Pada perbuatan melawang hukum, perhatian terfokus
pada kualitas perbuatan pelaku yang merugikan orang lain.
d)
Produk cacat
Produk
cacat (hidden defect), yakni tidak berfungsinya suatu produk sehingga tidak
mencapai tujuan pembuatannya, sehingga tidak memenuhi nilai guna. Misalnya pada
produk manufaktur, tidak berfungsinya produk karena kerusakan atau ketiadaan
komponen pada produk. Pada produk jasa nonmanufaktur, tidak berfungsinya produk
karena kesalahan instalasi atau konstruksi pada produk.
e)
Kerugian pada konsumen dan
orang lain.
Cacat
produk menimbulkan kerugian pada konsumen dan bisa orang lain pula. Konsumen
yang dimaksud adalah setiap orang yang menggunakan, memakai, mengkonsumsi, atau
menikmati produk karya produsen. Orang lain dimaksudkan adalah setiap yang ikut
menderita kerugian akibat cacat produk yang digunakan, dipakai, dikonsumsi atau
dinikmati oleh konsumen.
Ø Bentuk tanggungjawab produk
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah
a)
Di antara korban/konsumen di
satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya
ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya
tersebut di pasaran;
b)
Dengan menempatkan/mengedarkan
barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang
tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak
demikian, dia harus bertanggung jawab;
c)
Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung
jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut
melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran,
pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan
agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk
menghilangkan proses yang panjang ini.
Dengan demikian apapun
alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang
dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak
konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku
usaha dimintai pertanggungjwaban.
Adapun bentuk
pertanggung jawaban pelaku usaha dapat berupa :
a) Penggantian
produk cacat dengan produk tanpa cacat
b) Produk
manufaktur
c) Penggantian
uang biaya servis bagi produk manufaktur yang cacat karen tidak ada produk
penggantinya
d) Penggantian
uang biaya pengobatan dan perawatan kepada konsumen yang dirugikan akibat
mengkonsumsi produk cacat
Secara
lengkap peraturan perundang-undangan dalam bidang perlindungan konsumen dapat
dilihat pada perturan perundang-undangan sebagai berikut.
1.
UU No. 8 tahun 1999 tanggal
20 April 1999 tentang perlindunag
konsumen.
2.
Penjelasan UU No. 8 tahun 1999
tanggal 20 April 1999 tentang
perlindungan konsumen.
3.
PP No. 59 tahun 2001 tentang
lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
4.
PP No. 58 tahun 2001 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Presiden
Republik Indonesia.
5.
PP no. 57 Tahun 2001 tentang
Badang Perlindungan Konsumen Nasional.
6.
Keppres RI No. 90 Tahun 2001
Tentang pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota
Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakara Barat, Kota Bandung,
Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makasar.
7.
Kepmenperindag RI No.
605/MPP/Kep/8/2002 tentang pengangkatan aggota badan penyelesaian sengketa
konsumen pada pemerintahan Kota Makasar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarat, Dan Kota Medan.
8.
Kepmenperindag RI No.
480/MPP/Kep/6/2002 tanggal 13 juni 2002 tentang Perubahan Atas Kepmenperindag No 322/MPP/Kep/10/2001 tentang
Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
9.
Kepmenperindag RI No.
418/MPP/Kep4/2002 tangal 30 april 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon
Anggota Badan Perlindungan Konsumen.
10. Kepmenperindag
RI No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat.
H.
Pembinaan dan Pengawasan
1.
pembinaan
Didalam melakukan pembinaan maka pemerintah bertanggung
jawab atas pembinaan penyelenggaran perlindungan konsumen yang menjamin
diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakanya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.Dalam pelaksanaannya Menteri tersebut melakukan
koordinasi atas penyelenggaran perlindungan konsumen.
Pembinaan penyelenggaran perlindungan konsumen tersebut
meliputi upaya untuk :
a. Terciptanya
iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen
b. Berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
c. Meningkatnya
kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan dibidang perlindungan konsumen
2. pengawasan
Pemerintah dalam hal ini
Menteri atau Menteri teknis yang terkait bersama sama dengan masyarakat, dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakatlah yang melakukan pengawasan
terhadap penyelengaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Menteri teknis dalam hal ini adalah menteri yang
bertanggung jawab secara teknis menurut bidangnya masing-masing.
Pengawasaan oleh masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar dipasar, dengan cara penelitian, pengujian, atau
survei. Aspek pengawasan meliputi: penmuatan informasi tentang resiko pengunaan
barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang
disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan
dalam praktek dunia usaha.
Apabila
hasil pengawasan tersebut ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan membahayakan konsumen, maka Menteri dan/atau menteri teknis mengambil
tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
I.
BADAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL ( BPKN )
1. Fungsi dan tugas
Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen
Nasional maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian,
operasional lembaga ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres
Nomor 150 Tahun 2004.
BPKN yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen
yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia .
Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen .
Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen .
Fungsi dari badan Perlindungan Konsumen Nasional ini adalah
memberikan saran dan pertimbangan kepeda pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan
konsumen di Indonesia.
Dan untuk menjalankan fungsinya tersebut maka Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas ( pasal 34 ) :
- Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen,
- Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen,
- Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen,
- Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
- Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen,
- Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
- Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen
1.
Struktur
organisasi dan keanggotaan
Badan Perlindungan
Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil
ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan
sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan
anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.Ketua dan wakil
ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur
Pemerintah, Pelaku Usaha, LPKSM, Akademisi dan Tenaga Ahli, yang saat ini
keseluruhannya berjumlah 17 anggota serta dibantu beberapa staf sekretariat.
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan
Konsumen Nasional adalah:
- Warga negara Republik Indonesia;
- Berbadan Sehat;
- Berkelakuan baik;
- Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
- Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
- Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti
karena :
- Meninggal dunia;
- Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
- Bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia;
- Sakit secara terus menerus;
- Berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
- Diberhentikan.
Berkedudukan di Jakarta,
BPKN telah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai Keputusan Ketua BPKN No.
02/BPKN/Kep/12/2004. Dalam memperlancar tugas dan fungsinya untuk pengembangan
perlindungan konsumen, BPKN membentuk komisi-komisi, yaitu:
- Komisi I : Penelitian dan Pengembangan,
- Komisi II : Informasi, Edukasi dan Pengaduan
- Komisi III : Kerjasama
J.
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
LPKSM
adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan
konsumen. Dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan
perlindungan konsumen
Tugas
LPKSM, adalah
1. Menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajibandan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa
2. Memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, Bekerja sama dengan instansi
terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,
3. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,
4. Melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen
Saat ini LPKSM telah
berkembang sebanyak kurang lebih 200 lembaga yang tersebar di berbagai
propinsi, kabupaten dan kota. Namun lembaga yang telah memiliki TDLPK sebagai
tanda diakuinya LPKSM tersebut bergerak di bidang perlindungan konsumen, hingga
bulan Juli 2006 tercatat mencapai 107 LPKSM.
.LPKSM posisinya amat
strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan
kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat ( legal standing)
dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut
dapat dilakukan oleh lembaga konsumen ( LPKSM) yang telah memenuhi syarat,
yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang
dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh
lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum ( Pasal 46
Undang-Undang Perlindungan Konsumen) .
K. PENYELESAIA SENGKETA
Berdasarkan UU no. 8
tahun 1999 Pasal 45 sampai 58, penyelesaian sengketa konsumen, antara lain
dijelaskan sebagai berikut.
Bagian Pertama:
- Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
- Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
- Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
- Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
- Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
- seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
- sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
- Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
- Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua:
Ø
Penyelesaian Sengketa di luar
Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan
diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Ø
Penyelesaian Sengketa Melalui
Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu
pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan
ketentuan dalam Pasal 45.
L. BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Berdasarkan UU no. 8
tahun 1999 Pasal 49 sampai 58, badan penyelesaian sengketa konsumen, antara
lain dijelaskan sebagai berikut.
- Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
- Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- warga negara Republik Indonesia;
- berbadan sehat;
- berkelakuan baik;
- tidak pernah dihukum karena kejahatan;
- memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
- berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
- Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
- Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
- Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
- ketua merangkap anggota;
- wakil ketua merangkap anggota;
- anggota.
- Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
- Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
- Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen
berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh
Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di
luar lembaga pengadilan umum.
BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur
pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau
diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen,
BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan
keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar,
tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian akhir
bagi para pihak.
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen meliputi:
- melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
- memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
- melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
- melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
- menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
- memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
- meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
- mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
- memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
- memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
- menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam
surat keputusan menteri.
- Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
- Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
- Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
- Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Tugas
dan Wewenang
Tugas
BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi
perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan
baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan
pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga
telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan
menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan
badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai
surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Kewenangan
untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis harus
ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah anggota majelis tiga orang terdiri dari
seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan
seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur
pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang
panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Sengketa di antara konsumen dan produsen (dan
pemerintah) biasanya nominalnya kecil atau nilai rupiahnya kecil, sehingga
tidak selalu cocok jika harus diselesaikan melalui pengadilan.
UUPK mengatur bahwa sengketa konsumen dapat
diselesaikan di luar pengadilan, misalnyamelalui BPSK.
Badan ini tugasnya, antara lain, menyelesaikan
sengketa konsumen melalui mediasi, konsiliasidan arbitrase. BPSK juga
memberikan konsultasi untuk perlindungan konsumen, mengontrol isi klausula
baku, menyidik dan menguji sengketa perlindungan konsumen. Juga menerbitkan
keputusan final dan mengikat paling tidak 21 hari kerja setelah gugatan
diterima. Artinya jika keputusannya tidak dindahkan dapat dilaporkan kepada
polisi untuk melakukan penyidikan terhadap kedua belah pihak.
Pemerintah akan membentuk BPSK hingga di setiap
daerah administratif tingkat II. Anggota badan ini dapat berasal dari
pemerintah, wakil konsumen, dan pengusaha. Jumlah anggota dari tiap kelompok
paling kurang tiga dan paling banyak lima orang. Perjanjian dan pembatalan
anggota diatur oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Badan ini juga akan
didukung oleh sekretariat yang memadai.
Pada pembentukan BPSK, baik yang ada di Tingkat
II maupun yang ada di tingkat nasional haruslah diperhatikan sifat independensi
anggota yang terlibat. Oleh karenanya, anggota yang duduk dalam badan ini harus
diumumkan secara luas, terbuka, benar-benar memenuhi kriteria, punya integritas
dan kejujuran dalam membela kepentingan konsumen. Sebaliknya usulan keberatan
dari masyarakat harus mempunyai alasan yang jelas dan masuk akal.
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib
mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja
setelah gugatan diterima.
- Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
- Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
- Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
- Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
- Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3
dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen
yang dirugikan.
- Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
- Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
- Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BPSK
wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu duapuluh satu hari kerja
setelah gugatan diterima; serta dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja
sejak menerima putusan, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan
kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu paling
lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan dianggap
menerima putusan BPSK dan apabila setelah batas waktu ternyata putusan BPSK
tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut
kepada pihak penyidik dengan penggunaan Putusan Majelis BPSK sebagai bukti
permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan dengan penggunaan
Putusan majelis BPSK dapat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan
Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Bantahan atas putusan
Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan pelaku usaha dalam
waktu paling lambat duapuluh satu hari sejak diterimanya keberatan dari pelaku
usaha; dan terhadap putusan Pengadilan Negeri, para pihak dalam waktu paling
lambat empatbelas hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik
Indonesia; kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan
putusan dalam waktu paling lambat tigapuluh hari sejak menerima permohonan kasasi.
M. TENTANG PENYIDIKAN
Berdasarkan UU no. 8
tahun 1999 Pasal 59, penyidikan, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
- Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
- melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
- meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
- Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam
rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan menegakkan Undang-Undang
perlindungan konsumen di Indonesia, telah dilantik dan diambil sumpah
masing-masing 36 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil perlindungan konsumen
(PPNS-PK) dan 26 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perdagangan Dalam Negeri
(PPNS-PDN). Pelantikan dan pengambilan sumpah yang dilakukan Dirjen Perdagangan
Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Ardiansyah Parman, didasarkan pada
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-77,78,79 dan 80.AH.09.01 Tahun 2008
tentang Pengangkatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. PPNS-PK yang
dilantik adalah para peserta pelatihan pola 400 JP yang bertugas mengemban dan
mengawal UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Adapun PPNS-PDN
adalah peserta diklat PPNS-PK pola 100 JP yang bertugas dan memiliki kewenangan
mengawal 4 (empat) Undang-Undang, yaitu BRO 1934 tentang Penyaluran Perusahaan,
Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang No.3
Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen.
Keberadaan
PPNS-PK selain didasarkan pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP juga didasarkan Pasal 59
ayat (1) UU-PK, sedangkan kewenangannya didasarkan pada pasal 59 ayat (2) UU-PK
sebagai berikut:
1.
Melaksanakan pengawasan khusus bersama PPBJ sebagai tindak lanjut pengawasan
berkala terhadap barang yang beredar diduga tidak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2.
Menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat adanya dugaan terjadinyatindak pidana
di bidang PK.
3.
Mengkoordinasikan dengan instansi penegak hukum dalam menangani kasus
bidang
PK.
4.
Dengan bukti awal melakukan penyidikan
perkara di bidang PK.
PPNS-PK sesuai tugas dan fungsinya telah
melakukan kegiatan pengawasan terhadap produk-produk hasil Industri, Kimia,
Agro dan Hasil Hutan (IKAHH), produk Industri Elektronika, Logam, Mesin dan
Aneka (ILMEA) serta produk Jasa. penyidikan telah dilakukan terhadap produk
tepung terigu, ban kendaraan bermotor, telepon selular dan cara menjual produk
elektronik alat rumah tangga dan kesehatan. Kedepan, kewenangan besar yang
dimiliki PPNS-PK ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan perlindungan konsumen
antara lain adalah mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa dapat
diwujudkan. Dalam arahannya kepada para PPNS-PK dan PPNS-PDN yang dilantik
N. TENTANG SANKSI
Berdasarkan UU no. 8
tahun 1999 Pasal 60 sampai 63, sanksi, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
Ø
Sanksi Administratif
- Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
- Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Ø
Sanksi Pidana
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan
berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi,
mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang
tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau
tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di
dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang
melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen
dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha
yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu
yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang
tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana
yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada
lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya, masih
banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran
polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula
baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan
dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut
sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling
banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum
yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia
perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang
jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan
konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat
(3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi
pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. (
Oktober 2004 )
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha
dan/atau pengurusnya.
- Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
- Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
- Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,
dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
- perampasan barang tertentu;
- pengumuman keputusan hakim;
- pembayaran ganti rugi;
- perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
- kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
- pencabutan izin usaha.
Comments
Post a Comment