DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP PENERAPAN PSAK 8 PERISTIWA SETELAH PERIODE PELAPORAN DAN PSAK 71 INSTRUMEN KEUANGAN
Sejalan dengan perkembangan situasi pandemi global Virus Corona (Covid-19), Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI) menyadari bahwa ketidakpastian yang dihasilkan dari pandemi ini dapat secara signifikan memengaruhi pertimbangan (judgement) entitas dalam menyusun laporan keuangan. DSAK IAI memutuskan untuk menerbitkan publikasi ini sebagai petunjuk (guidance), khususnya bagi entitas bisnis dalam mengaplikasikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berbasis prinsip untuk penyusunan laporan keuangannya. SAK yang berbasis prinsip tersebut memberikan ruang bagi entitas dalam menggunakan pertimbangannya untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi yang timbul akibat pandemi Covid-19. Namun kemungkinan penggunaan pertimbangan tersebut tidak dapat disalahgunakan oleh entitas untuk pada akhirnya menghasilkan laporan keuangan yang tidak merepresentasikan secara tepat posisi dan kinerja keuangan entitas yang sebenarnya.
Demi menjaga konsistensi penerapan SAK, DSAK IAI memutuskan untuk memberikan petunjuk mengenai penerapan standar-standar tertentu yang relevan dengan dampak dari pandemi Covid-19. DSAK IAI juga telah mempertimbangkan publikasi serupa yang diterbitkan oleh dewan standar akuntansi lainnya, misalnya International Accounting Standards Board (IASB) dan Malaysian Accounting Standards Board (MASB).
PSAK 8 Peristiwa Setelah Periode Pelaporan
Publikasi DSAK IAI ini bertujuan untuk memberikan petunjuk apakah pandemi Covid-19 merupakan peristiwa setelah tanggal periode pelaporan yang dapat memengaruhi laporan keuangan 2019.
PSAK 8 paragraf 03 mendefinisikan peristiwa penyesuai setelah periode pelaporan (adjusting events) sebagai peristiwa yang memberikan bukti atas adanya kondisi pada akhir periode pelaporan. Sedangkan peristiwa nonpenyesuai setelah periode pelaporan (non-adjusting events) mengindikasikan kondisi yang timbul setelah periode pelaporan.
Pada tanggal 31 Desember 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendapatkan laporan dari negara China bahwa telah terjadi beberapa kasus penyakit pernapasan di Kota Wuhan dari virus yang belum diketahui. WHO baru mengumumkan wabah ini menjadi darurat global (global emergency) pada tanggal 30 Januari 2020. Kasus pertama pasien positif Covid-19 di Indonesia diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020.
Memperhatikan fakta-fakta berdasarkan lini masa (timeline) yang telah terjadi, DSAK IAI memandang bahwa penyebaran Covid-19 di Indonesia bukanlah peristiwa penyesuai yang memengaruhi penyajian jumlah yang diakui di laporan keuangan 2019. Entitas harus memastikan bahwa pengukuran aset dan liabilitas mencerminkan kondisi yang ada pada tanggal pelaporan keuangan.
Namun demikian, PSAK 8 paragraf 14 juga meminta entitas mempertimbangkan asumsi kelangsungan usaha dalam penyusunan laporan keuangan jika entitas meyakini bahwa terdapat peristiwa setelah periode pelaporan yang sangat signifikan sehingga dapat mengancam kelangsungan usaha di masa depan. Entitas harus menggunakan pertimbangannya apakah pandemi Covid-19 dapat memengaruhi kelangsungan usaha entitas dengan mempertimbangkan semua fakta dan informasi yang relevan, termasuk program-program relaksasi yang diberikan pemerintah.
PSAK 71 Instrumen Keuangan – Penerapan awal pada 1 Januari 2020
Publikasi ini juga bertujuan memberikan klarifikasi dan panduan dalam mempertimbangkan apakah pandemi Covid-19 dapat memengaruhi penghitungan kerugian kredit ekspektasian (KKE) atau expected credit loss (ECL) pada tanggal penerapan awal PSAK 71 pada 1 Januari 2020.
Konsisten dengan prinsip umum dalam PSAK 8 yang dijelaskan sebelumnya, pengukuran KKE dalam PSAK 71 paragraf 5.5.17(c) mensyaratkan entitas mengukur KKE dengan cara yang mencerminkan informasi yang wajar dan terdukung (reasonable and supportable information) yang tersedia tanpa biaya atau upaya berlebihan (without undue cost or effort) pada tanggal pelaporan mengenai peristiwa masa lalu, kondisi kini dan perkiraan kondisi ekonomi masa depan.
Mempertimbangkan fakta bahwa pengetahuan dan informasi mengenai pandemi Covid-19 di Indonesia tidak tersedia pada tanggal 31 Desember 2019, maka entitas tidak dapat menggunakan informasi ini dalam mengukur KKE, termasuk memasukkan informasi tersebut ke dalam skenario pemodelan sesuai estimasi probabilitas tertimbang pada tanggal penerapan awal PSAK 71 (yaitu 1 Januari 2020).
PSAK 71 Instrumen Keuangan – Kerugian Kredit Ekspektasian (KKE)
Publikasi DSAK IAI ini memberikan petunjuk bagaimana dampak dari pandemi Covid-19 terhadap penghitungan KKE pada tahun 2020, terutama dikaitkan dengan beberapa kebijakan relaksasi yang dikeluarkan oleh otoritas/pemerintah.
PSAK 71 menjabarkan kerangka kerja dalam penentuan jumlah KKE yang harus diakui. Dengan pendekatan yang umumnya digunakan, pada setiap tanggal pelaporan keuangan, entitas mengukur:
- penyisihan KKE 12 bulan (yang dalam praktiknya sering disebut sebagai berada dalam stage 1) untuk suatu instrumen keuangan, yakni risiko kerugian selama 12 bulan ke depan jika risiko kredit instrumen keuangan tidak meningkat secara signifikan sejak pengakuan awal [PSAK 71 paragraf 5.5.5]; atau
- penyisihan KKE sepanjang umur (lifetime), yakni risiko kerugian sepanjang sisa umur ekspektasian instrumen keuangan, jika risiko kredit instrumen keuangan tersebut meningkat secara signifikan sejak pengakuan awal [PSAK 71 paragraf 5.5.3].
Dengan demikian, PSAK 71 mensyaratkan bahwa KKE sepanjang umur diakui jika terdapat peningkatan signifikan dalam risiko kredit (PSRK) atau significant increase in credit risk (SICR) pada suatu instrumen keuangan. Penilaian atas PSRK mensyaratkan entitas untuk menilai perubahan risiko gagal bayar (risk of default) yang timbul selama umur ekspektasian dari suatu instrumen keuangan [PSAK 71 paragraf 5.5.9].
Dalam menilai apakah telah terjadi PSRK maupun dalam mengukur KKE, entitas mempertimbangkan seluruh informasi yang wajar dan terdukung termasuk informasi masa depan [PSAK 71 paragraf 5.5.9]. Informasi yang wajar dan terdukung merupakan informasi yang secara andal tersedia pada tanggal pelaporan keuangan yang diperoleh tanpa membutuhkan biaya atau upaya yang berlebihan, termasuk informasi mengenai peristiwa masa lalu, kondisi saat ini dan perkiraan kondisi ekonomi masa depan [PSAK 71 paragraf PP5.5.49], dan pertimbangan yang dilakukan dalam mengukur KKE [PSAK 71 paragraf PP5.5.50].
Namun demikian, PSAK 71 tidak mengatur batas yang tegas ataupun memberikan pendekatan mekanistik tertentu dalam menentukan kapan kerugian sepanjang umur harus diakui. PSAK 71 juga tidak menentukan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh entitas dalam menyusun skenario masa depan pada saat mengestimasi KKE. Oleh karena itu, beberapa asumsi yang sebelumnya digunakan entitas pada saat pertama kali menerapkan model KKE (sebelum pandemi Covid-19), atau yang telah diterapkan sebelumnya dalam hal entitas melakukan penerapan dini PSAK 71, mungkin tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini (pada masa pandemi Covid-19). Entitas perlu meninjau kembali metodologi atau model KKE yang digunakan, dan mempertimbangkan informasi wajar dan terdukung yang tersedia pada tanggal pelaporan dalam mengukur KKE. Sebagai contoh, kebijakan pemberian jeda pembayaran baik atas pokok maupun bunga kepada suatu cluster debitur atau instrumen keuangan, misalnya karena pertimbangan tertentu atau mengikuti arahan kebijakan otoritas, tidak secara otomatis menghasilkan anggapan bahwa seluruh instrumen keuangan tersebut mengalami peningkatan risiko kredit yang signifikan.
Dalam menilai kondisi masa depan, entitas mempertimbangkan berbagai informasi relevan yang tersedia, termasuk misalnya dampak Covid-19 dan kebijakan yang dikeluarkan otoritas/pemerintah untuk mendukung dan memitigasi dampak penyebaran Covid-19 pada perekonomian. Dalam kondisi normal, penjadwalan ulang atau restrukturisasi piutang yang dilakukan oleh pemberi pinjaman (misalnya, bank dan lembaga keuangan lainnya) mengindikasikan adanya PSRK dan diikuti dengan pembentukan penyisihan KKE sepanjang umur. Namun dalam kondisi saat ini, di mana otoritas mengeluarkan kebijakan yang mendorong atau memungkinkan dilakukannya penundaan atau restrukturisasi pembayaran piutang, maka tidak tepat jika entitas langsung beranggapan bahwa restrukturisasi tersebut menandakan piutang mengalami PSRK layaknya dalam keadaan normal sebelum pandemi Covid-19. Debitur yang bisnisnya terkena dampak signifikan dari pandemi Covid-19 mungkin saja akan berhasil pulih dalam masa krisis pandemi Covid-19 berkat kebijakan-kebijakan relaksasi otoritas/pemerintah. Sebaliknya mungkin saja debitur yang bahkan sudah menerima fasilitas jeda pembayaran atau restrukturisasi dari pandemi Covid-19 tetap saja tidak dapat bertahan dan mengalami gagal bayar setelah pandemi Covid-19 berakhir. Entitas perlu melakukan identifikasi dan penilaian, dan menggunakan pertimbangan dalam menilai apakah debitur yang terdampak Covid-19 dapat kembali pulih dan memenuhi kewajiban kontraktualnya setelah berakhirnya jangka waktu restrukturisasi, sehingga tidak terjadi PSRK selama sisa umur ekspektasian dari piutang.
Harus diakui bahwa, pada saat ini terdapat ketidakpastian yang cukup signifikan mengenai dampak yang timbul dari Covid-19, namun demikian perlu disadari juga bahwa kondisi ini diperkirakan tidak bersifat permanen. Sekalipun sulit, entitas tetap harus mengestimasi KKE. Saat ini mungkin masih sulit untuk memperkirakan dampak spesifik baik dari Covid-19 maupun efektivitas dukungan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah/otoritas dan memasukkannya ke dalam suatu dasar estimasi yang wajar dan terdukung. Namun demikian, perubahan kondisi ekonomi harus tercermin dalam skenario makroekonomi yang diterapkan oleh entitas dan dalam pembobotannya. Jika dampak Covid-19 tidak dapat tercermin dalam model, maka post-model overlays atau penyesuaian perlu dipertimbangkan. Kondisi saat ini berpotensi untuk berubah dengan cepat sehingga entitas perlu terus memonitor dan memperbaharui data dan fakta terkini.
Di sisi lain, entitas diingatkan bahwa pengukuran KKE berdasarkan PSAK 71 mengharuskan entitas untuk memperhitungkan dampak nilai waktu dari uang [PSAK 71 paragraf. 5.5.17 (b)]. Misalnya, peningkatan KKE tetap akan terjadi bahkan ketika entitas mengharapkan adanya pembayaran penuh atas pinjaman, namun terjadi penundaan pembayaran pinjaman dan bunga tidak diperhitungkan selama masa penangguhan pembayaran. Hal tersebut terjadi karena adanya kerugian dalam nilai kini dari arus kas.
Meskipun kondisi saat ini sulit dan menimbulkan tingkat ketidakpastian yang tinggi, informasi tentang KKE yang berguna tetap dapat dihasilkan. Pada kondisi pandemik Covid-19 saat ini, pengungkapan yang memadai akan memberikan transparansi yang sangat dibutuhkan bagi pengguna laporan keuangan. Besaran risiko dan kemungkinan terjadinya sangat bergantung pada masing-masing entitas dan kemampuannya untuk mengidentifikasi dengan mengacu pada informasi signifikan yang diperolehnya. Dengan demikian, entitas harus mempertimbangkan dengan hati-hati sifat dan tingkat pengungkapan yang perlu dimasukkan dalam laporan keuangan dalam kaitannya dengan Covid-19 dalam rangka memberikan informasi kepada pengguna laporan keuangan atas risiko yang timbul dari instrumen keuangan dan bagaimana entitas mengelola risiko tersebut.
SELESAI
Catatan: Fakta dan keadaan suatu entitas dapat berbeda dengan entitas lainnya. Sebagai konsekuensinya, entitas harus berdiskusi dengan akuntan dan auditor independennya masing-masing tentang penyelesaian atas hal-hal yang berkaitan dengan penerapan standar akuntansi berdasarkan fakta dan keadaan entitas.
Comments
Post a Comment