PERLINDUNGAN KONSUMEN




PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.     Pendahuluan
         Perkembangan di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang atau jasa yang dapat dikonsumsi.Disamping itu, globaliasai dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas batas wilayah suatu Negara, sehingga barang dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
         Kondisi demikina,  disatu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen mengenai barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai keinginan dan kemampuan konsumen. Namun dilain sisi, kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keutungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian  standar yang merugikan. Dalam hal ini yang menjadi kelemahan konsumen, factor utamanya adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Ini karena disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen.Oleh karena itu konsumen perlu diberdayakan.Terlebih ketika para pelaku usaha menggunakan prinsip ekonomi yakni bagaimana mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.Prinsip ekonomi ini sangant potensial merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun tidak langsung.
         Berdasarkan kondisi sebagaimana dipaparkan tersebut, maka perlu adanya pemberdayaan konsumen melalui seperangkat peraturan/undang-undang yang tujuannya melindungi kepentingan konsumen dan bukan untuk mematikan usaha para pelaku usaha namun justru sebaliknya agar dapat mendorong iklim usaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas, dan undang-undang diharapkan dapat secara intensif, komprehensif dan secara efektif dapat diterapkan pada masyarakat.
         Maka dalam rangka untuk dapat terciptanya perekonomian  yang sehat, yang dapat mewujudkan adanya keseimbangan dalam memberikan perlindungan hokum bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha, maka dibentuklah sebuah aturan untuk menjawab permasalahan tersebut, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 20 april 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan mulai berlaku setelah 1 ( satu ) tahun sejak diundangkannya yaitu pada tanggal 20 april 2000. UU ini tercantum dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42.
         Undang-undang perlindungan konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hokum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen, adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945.
         Sebelum UU perlindugan konsumen ini dibentuk, sebenarnya sudah ada beberapa undang-undang  yang materinya mengatur mengenai perlindungan konsumen, yaitu
1.      Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang barang, menjadi undang-undang
2.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene
3.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
4.      Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
5.      Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
6.      Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
7.      Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
8.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagan dan Industri ( KADIN )
9.      Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
10.  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement establishing The World Trade Organization ( Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia )
11.  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
12.  Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
13.  Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
14.  Undang-undang Nomor ….  Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hygiene
15.  Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
16.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek
17.  Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
18.  Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
19.  Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
20.  Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

B.      PENGERTIAN- PENGERTIAN
         Ada beberapa hal yang harus diketahui atau dimengerti oleh para pelaku usaha dan juga konsumen berkaitan dengan kewajiban maupun hak-haknya sebagai konsumen maupun sebagai pelaku usaha terlebih dalam rangka untuk mendapatkan perlindungan hokum dan posisi tawar  yang seimbang antara kedua belah pihak.
         Yang dimaksud dengan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.( sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen ).
         Pengertian Konsumenadalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun bagi makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagankan. Didalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu prodak, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Dan dalam undang-undang ini yang dimaksud adalah konsumen akhir ( penjelasan pasal 1 angka 2 ).
         Sedangkan Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian  menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Yang termasuk pelaku usaha dalam pengertian ini adalah : perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain ( penjelasan pasal 1 angka 3 )
         Yang dimaksud “barang” dalam Undang-undang ini adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagankan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa segala macam jenis barang bisa masuk dalam kategori yang bisa mendapatkan perlindungan hukum menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini ( dapat ditafsirkan secara luas ). Sedangkan “jasa” adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.Pengertian jasa inipun tidak dibatasi oleh Undang-undang.Misalnya saja, jasa dalam bidang kesehatan/medis, pendidikan baik yang bersifat umum maupun agama, konstruksi, konsultan, dll.
         Promosiadalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barangdan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Dalam bidang pemasaran promosi merupakan salah satu hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena dalam menjual suatu produk, dengan adanya promosi yang baik maka diharapkan produk akan terjual sesuai dengan target atau bahkan bisa lebih.
         Impor barangadalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.Sedangkan impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan didalam wilayah Republik Indonesia.
         Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib
dipenuhi oleh konsumen.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. 
Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.

C.      AZAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN TERHADAP KONSUMEN
            UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menyatakan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat , baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Azas-azas perlindungan konsumen antara lain sebagai berikut.
·         Azas manfaat
Azas manfaat adalah upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
·         Azas keadilan.
Azas keadilan adalah memberikan kesempatan kepada konsumen dan pada pelaku usaha untuk memperoleh haknya dalam melaksanakan kewajiban secara adil.
·         Azas keseimbangan.
Azas keseimbangan adalah memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintahan dalam arti materil dan spritual.
·         Azas keamanan dan keselamatan dalam konsumen.
Azas keamanan dan keselamatan dalam konsumen adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemamfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·         Azas kepastian hukum.
Azas kepastian hukum yakni baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelengaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen, antara lain sebagai berikut.
·         Mementingkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan diri dari ekses negatif pemakaian barang dan /atau jasa.
·         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menentukan dan menuntut hak-hak sebagai konsumen.
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
·         Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mnegandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendafatkan informasi.
·         Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

D.     HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
Berdasarkan UU no. 8 tahun 1999 Pasal 4 dan 5, hak dan kewajiban konsumen, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
·         Hak Konsumen Meliputi
a)     Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dama mengkonsumsi barang dan/ atau jasa.
Bagi konsumen hak ini harus mencakup perspektif keyakinan aspek kesehatan secara fisik, dan dari perspektif keyakinan/ ajaran agama tertentu
b)     Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendafatkan barang dan/atau jasa , senilai dengan nilai tukar dalam kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Merupakan kebebasan konsumen dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, barang yang beredar di pasar haruslah terdiri dari beberapa merek untuk suatu barang, agar konsumen dapat memilih.
c)      Hak atas informasi yang bernar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Bisa dipenuhi dengan cara antara lain, melalui diskripsi barang menyangkut harga dan kualitas atau kandungan barang dan tidak hanya terbatas informasi pada satu jenis produk, tetapi juga informasi beberapa merek untuk produk sejenis, dengan demikian konsumen bisa membandingkan antara satu merek dengan merek lain untuk produk sejenis.
d)     Hak untuk mendengar pendapat dan keluhan atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
Ada dua instrumen dalam mengakomodir hak untuk didengar: Pertama, Pemerintah melalui aturan hukum tertentu dalam bentuk hearing secara terbuka dengan konsumen; Kedua, melalui pembentukan organisasi konsumen swasta dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Hak untuk didengar menuntut adanya organisasi konsumen yang mewakili konsumen.
e)     Hak untuk mendapatkan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa.
Dengan hak ini, konsumen mendapat perlindungan hukum yang efektif dalam rangka mengamankan implementasi ketentuan perlindungan konsumen dan menjamin keadilan sosial, daoat dipenuhi dengan cara :
1) Konsultasi hukum, diberikan pada konsumen menengah ke bawah. Bentuk kegiatan ini   dapat dilakukan oleh organisasi konsumen dan atau instansi pemerintah yang mengurusi perlindungan
2)   Menggunakan mekanisme tuntutan hukum secara kolektif (class action);
3) Adanya keragaman akses bagi konsumen individu berupa tersedianya lembaga penyelesaian sengketa konsumen, baik yang didirikan oleh pemerintah berupa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di setiap pemerintah kota /
f)       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Definisi dasar hak ini adalah konsumen harus berpendidikan secukupnya, dapat dilakukan baik melalui kurikulum dalam pendidikan formal maupun melalui pendidikan informal yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Pemenuhan hak untuk mendapat pendidikan juga menjadi kontribsi dan tanggung jawab pelaku usaha
g)     Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasar suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya, hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan pertauran perundangan lainnya.
h)     Hak untuk mendapatkan ganti rugi
Mendapatkan ganti rugi harus dipenuhi oleh pelaku usaha atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan si pelaku usaha tersebut.
Bentuk ganti rugi dapat berupa:
 1) pengembalian uang;
2) penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya;
3)perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan (pasal 19 Ayat (2) UUPK).
i)  Hak yang diatur dalam perundangan lainnya .
selain hak-hak yang ada dala UU PK, dalam UU lain juga diatur hak-hak konsumen, seperti UU Kesehatan. Oleh karen itu dimungkinkan adanya hak konsumen tambahan sesuai dengan tipikal sektor masing-masing    
·         Kewajiban Konsumen Antara Lain
a)     Membaca , mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian dan pemanfaatan baran dan/atau jasa demi keamanan dak keselamatan,
b)     Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa,
c)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang dispekati dan,
d)     Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan  konsumen secara patut.
·         Dasar Hukum Pengaduan Konsumen
Ø  Perbuatan melawan hukum
Perbuatan melawan hukum yang diatur pasal 1365 KUH Perdata selalu dijadikan pijakan dalam gugatan perdata. Isinya adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dapat dipahami baik dalam arti sempit (terbatas kepada pelanggaran undang-undang), maupun dalam arti luas (meliputi pelanggaran terhadap undang-undang dan perbuatan manusia yang melanggar hak-hak orang lain).
             Empat unsur yang harus dipenuhi dalam konstruksi hukum perbuatan melawan hukum :
 1)   Adanya perbuatan melawan hukum;                                         
2)   Menimbulkan kerugian;
3)   Adanya unsur kesalahan, dan
4)   Ada hubungan kausalitas antara perbuatan hukum dan kerugian yang timbul
Ø  Wanprestasi / cidera janji
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa belanda yang berarti prestasi buruk. Wansprestasi dapat berupa:
1) Tidak melaksanakan apa yang sudah diperjanjikan;
2) Melaksanakan yang diperjanjikan tidak sebagaimana mestinya;
3) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; dan
4) Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Persoalan di lapangan adalah pengertian perjanjian dalam wanprestasi terbatas pada perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak. Tidak termsuk korespondensi, brosur, leaflet yang kadang juga berisi janji-janji pelaku usaha kepada konsumen.
·         Upaya Yang Dapat Dilakukan Jika Konsumen Dirugikan
Ø  Mengajukan pengaduan kepada asosiasi industri
Lembaga yang juga dapat menjadi alternatif konsumen menyampaikan pengaduan adalah Assosiasi Industri. Ada dua pendekatan:
1)     Fungsi penanganan pengaduan konsumen langsung ditangani pengurus assosiasi; atau 
2)     Assosiasi yang membentuk lembaga khusus yang berfungsi menangani sengketa konsumen, seperti assosiasi industri asuransi membentuk Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
Ø  Menulis surat pembaca di media cetak
Dengan menulis pengalaman buruk di media cetak tentang suatu produk, meskipun tingkat penyelesaian sangat rendah karena tergantung kepedulian dari pelaku usaha akan nama baiknya. Namun cara ini baik untuk pendidikan konsumen lain agar mengetahui info barang tersebut.
Ø  MEMBuat pengaduan ke LPKSM
Membuat pengaduan ke LPKSM dapat dengan berbagai akses, seperti: surat, telepon, datang langsung, e-mail, SMS. Agar ditindak lanjuti, pengaduan konsumen harus dilakukan tertulis atau datang langsung ke LPKSM dengan mengisi form pengaduan konsumen. Mekanisme LPKSM dalam menyelesaikan sengketa konsumen adalah dengan mengupayakan tercapainya kesepakatan antara konsumen dengan pelaku usaha melalui mediasi atau konsiliasi.
Ø  Membuat pengaduan / laporan tindak pidana ke – kepolisian
Dalam beberapa kasus pelanggaran terhadap hak konsumen ada yang berdimensi pidana, oleh karena itu dapat diadukan ke Kepolisian. Laporan / pengaduan ke kepolisian dapat menjadi dasar bagi kepolisian untuk mengambil langkah hukum / polisional sehingga korban tidak berjatuhan lagi.
Ø  Mengirimkan somasi ke pelaku usaha.
Somasi selain berisi teguran, juga memberi kesempatan terakhir kepada tergugat untuk berbuat sesuatu dan atau untuk menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini lebih efektif, terlebih ketika menyangkut kepentingan publik, akan sangat bagus somasi dilakukan kolektif dan terbuka.
Ø  Mengajukan gugatan secara perorangan
Mengajukan gugatan perorangan untuk masalah sengketa konsumen sangat tidak efektif, karena biaya akan sangat mahal dan lamanya waktu penyelesaian
Ø  Mengajukan gugatan perdata secara perwakilan kelompok (class action)
Gugatan Perwakilan kelompok merupakan cara yang praktis, dimana gugatan secara formal cukup diwakili beberapa korban sebagai wakil kelas. Namun apabila gugatan dikabulkan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, korban lain yang secara formal tidak ikut menggugat dapat langsung menuntut ganti rugi berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Selain dalam UU Perlindungan konsumen, gugatan class action juga diatur dalam UU Jasa Konstruksi. Gugatan ini baik dipakai untuk kasus-kasus pelanggaran hak konsumen secara massal.
Ø  Meminta lpksm mengajukan gugatan legal standing
Menurut pasal 46 Ayat (1) Huruf (c) UU PK menyebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dapat mengajukan gugatan legal standing dengan memenuhi syarat, yaitu: 1) Berbentuk badan hukum atau yayasan; yang 2) Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen; dan 3) Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.Penyelesian sengketa konsumen Melalui Badan Penyelaian Sengketa Konsumen (BPSK) Lembaga ini pendiriannya menjadi tanggungjawab pemerintah, didirikan ditiap pemerintahan Kota/Daerah tingkat II. Tujuan BPSK untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Pasal 49 Ayat (1) UUPK) melalui cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi yang anggotanya terdiri dari unsur: 1) Pemerintah; 2) Lembaga konsumen; dan 3) Pelaku usaha (Pasal 49 Ayat (3) UUPK). adapuntugas dan wewenang BPSK, meliputi:
a)     Penanganan dan penyelesaian sengketa melalui arbitrase/ mediasi/konsoliasi
b)     Konsultasi perlindungan konsumen
c)      Pengawasan terhadap pencantuman klausa baku
d)     Melaporkan kepada penyidik umum apabila ada pelanggaran ketentuan dalam UUPK
e)     Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen
f)       Meneliti dan memeriksa sengketa perlindunag konsumen
g)     Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi ahli dan atau setiap orang yang dianggap mengetahui UUPK
h)     Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, dan saksi ahli
Ø  Mengajukan pengaduan kepada ombudsnman nasional.
Pengaduan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat dilakukan jika seorang mendapat pelayanan buruk dari lembaga pemerintah. Namun KON memiliki kelemahan, yaitu kewenangannya terbatas meminta klarifikasi dan memberikan rekomendasi, tanpa memiliki kewenangan eksekusi. Masalahnya adalah ketika rekomendasi Komisi tidak ditindaklanjuti oleh lembaga yang diadukan masyarakat, komisi juga tidak dapat berbuat apa-apa.
Ø  Mengajukan pengaduan kepada organisasi profesi
Dalam kasus sengketa konsumen jasa profesional, apabila jenis pelanggaran masih dalam koridor kode etik, konsumen dapat mengadukan kepada Majelis Kehormatan Etik masing-masing profesi. Sebagai contoh, jika ada indikasi notaris melakukan malpraktik profesi yang potensial merugikan kepentingan masyarakat, sebagai pengguna jasa, masyarakat dapat mengutarakan keberatan/pengaduan Dewan Etik Ikatan Notaris Indonesia.
·         Hak Pelaku Usaha Antara Lain :
a)     Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
b)     Hak mendapat perlindungan hokum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c)      Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
d)     Hak untuk reabilitasi nama baik, dan
e)     Hak-hak lain yang diatur perundangan lainnya.
·         Kewajiban Pelaku Usaha Antara Lain :
a)     Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha,
b)     Melakukan informasi yang benar, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c)      Memperlakukan atau melayani konsumen, secara benar dan jujur serta tidak diskrimanitaf, pelaku usaha dilarang membedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen , menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.
d)     Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang  dan atau jasa tertentu serta member jaminan atau garansiatau barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan ; dengan member konpensasi ganti rugi dan/atau pengantia apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimamfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
E.      Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Pada UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 dijelaskan mengenai  perbuatan hukum yang diarang bagi pelaku usaha, antara lain :
a)     Larangan dalam memproduksi /memperdagangkan . pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa misalnya :
·         Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangan;
·         Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto dan jumlah dalam hitungan sebagai mana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·         Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
·         Tidak sesuai dengan kondisi , jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan , atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut
·         Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaiman dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·         Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa;
·         Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal;
·         Tidak memasang label tetang penjelasan barang seperti ukuran, berat, isi bersih, komposisi dan lain-lain; dan
·         Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b)     Larangan dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah:
·         Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karesteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
·         Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
·         Barang dan/jasa tersebut telah mendapat dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
·         Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan, atau afiliasi;
·         Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
·         Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
·         Barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
·         Secara tidak langsung atau langsung merendahkan barang dan/jasa lain.
·         Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; dan menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
c)      Larangan dalam penjualan secara obral/lelang
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral/lelang, dilarang mengelabui /menyesatkan konsumen, antara lain ;
·         Menyatakan barang dan/jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar tertentu;
·         Menytakan barang dan/jasa tersebut seolah-olah tidak menandung cacat tersembunyi;
·         Tidak berniat untuk menjula barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud menjual barang lain;
·         Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
·         Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
·         Tidak menyediakan barang dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
·         Menaikan harag atau tarif barang dan/jasa sebelum melakukan obral.
d)     Larangan dakam periklanan
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, mislanya:
·         Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, keagunan, dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan jasa ;
·         Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa ;
·         Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
·         Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa
·         Mengeksploitasi kejadian dan/atau seorang tanpa iseizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
·         Melanggar etika dan/atau jasa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perikatan.
F.      Tentang Klausa baku
Ø  Klausula baku
Klausula baku atau kontrak standar yang sekarang berlaku di Indonesia mengakibatkan kerugian pada konsumen, dan lebih memberikan keuntungan bagi produsen. Klausula baku atau kontrak standar adalah setiap regulasi dan kondisi yang terlebih dahulu disiapkan dan ditentukan oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen yang mengikat konsumen. Contohnya, kontrak standar jual-beli rumah yang sudah baku dipersiapkan oleh produsen rumah lebih dulu, konsumen tinggal tanda-tangan dan tidak diberi kesempatan untuk mengubah jika konsumen tidak setuju, sehingga kontrak ini menjadi sema-cam take it or leave it contract.
UUPK ini lebih prokonsumen karena mengatur pembuatan klausula baku atau kontrak standar. Dalam penjelasan Pasal 18 UUPK, dikatakan bahwa larangan untuk memasukkan klausula baku yang mengandung sesuatu yang akan mengakibatkan kerugian konsumen, dimaksudkan untuk menempatkan konsumen sejajar dengan pengusaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
UUPK memberikan batas agar klausula baku tidak dibuat hanya mementingkan pihak penyedia jasa saja.Dalam UUPK, paling tidak ada empat pokok penting tentang persyaratan untuk memasukkan klausula baku, satu di antaranya, pengusaha dilarang memasukkan klausula baku pada tempat atau dalam bentuk yang sulit dilihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau dengan penyataan yang sulit dipahami. Pengusaha yang masih memasukkan klausula baku yang berisi dokumen yang dilarang akan dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun atau didenda maksimum dua milyar rupiah.

Ø  Adanya Bentuk Klausula Baku Dalam Perjanjian
            Di dalam pasal 18 UU Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang  dan/atau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausala baku pada setiap dokumen  dan/atau perjanjian, antara lain;
·         Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
·         Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
·         Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;
·         Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran;
·         Mengatur prihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
·         Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
·         Menyatakan tunduknya konsumen pada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
·         Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebananhak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan kalusula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjiannya memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentengan dengan undang-undang.
Pasal 1 angka 10 UUPK menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau pejanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Menurut Munir Fuady (2003), kontrak baku adalah suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak dalam bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisi data-data informatif tertentu saja dengan sedikti atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya, dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Menurut Endang Purwaningsih (2010), sebenarnya kontrak baku dibuat secara standar oleh salah satu pihak yang secara psikologis  ekonomis berada dalam keudukan yang lebih tinggi. Hal ini tetntu saja sangat merugikan konsumen, tetapi demi kepentingan bisnis, meskipun kedudukan konsumen lemah, oleh Karen dinamika kebutuhan ekonomi dewasa ini, maka kontrka baku seakan telah menjadi biasa dan dimaklumi adanya. Dalam hal ini, banyak pihak mempertimbangkan  apakah dengan adanya tanda tangan konsumen, maka telah ada kesepakatan sebagai syarat sahnya perjanjian. Ingatlah bahwa perkembangan dewasa ini hanya dengan tindakan tepat dan cepat : take it or leave it. Ini tentu sangat membantu oprasional bisnis dan mengurangi biaya.
Dalam kontrak baku dikenal klausula ekonerasi bahwa dalam suatu perjanjian dicantumkan klausula yang menyatakan salah satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajiban membayar ganti rugi yang mungkin terjadi. Klausula ini biasanya hanya sebai tambahan dalam perjanjian.

G.     TANGGUNG JAWAB PRODUK
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
                  istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
                  Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).  Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
                  Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product. Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
                  Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
                  Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
                  Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
            Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan, tanggung gugat produk timbuk dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat  dari “produk yang cacat”, bias dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
            Di dalama UU No 8 Tahun 1999, pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk  yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerugian konsumen. Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang, penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesahatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Sementara itu, Pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab  pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana telah diatur dalam pasal 19. Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan.
            Di dalam pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tangung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
·         Barang tersebut terbukti seharusnya tidak dideadarkan atau tidak dimaksud untuk dieadarkan;
·         Cacat barang timbul dikemudian hari
·         Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
·         Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; dan
·         Lewatnya jangka waktu penuntutuan 4 bulan sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.
Setiap perbuatan produsen (pelaku usaha) yang menghasilkan suatu produk dan produknya digunakan oleh pengguna atau dikonsumsi oleh konsumen dan ternyata merugikan pengguna atau konsumen dan orang lain, produsen bertangung jawab mutlak tanpa mempersoalkan kesalahan (strict hability) untuk mengganti kerugian kepada pengguna atau konsumen dan orang lain yang dirugikan. Tangung jawab mengganti kerugian itu didasarkan pada ketentuan pasal 1365 KUHPerdata. Tanggung jawab produsen ini dalam kajian hukum terkenal dengan doktrin tanggung jawab produk (product liability), yang digolongkan sebagai perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad), tetapi disertai tanggung jawab mutlak (Abdul Kadir Muhammad : 2006). Selanjutnya, Abdul kadir Muhammad (2006) juga memerinci unsur-unsur tanggung jawab produk dan bentuknya sebagai berikut.
Ø  Unsur-unsur tangung jawab produk
a)     Produsen (pelaku usaha)
Produsen adalah orang yang menjalankan usaha (bisnis) membuat atau menghaslkan suatu produk  untuk kesejahteraan masyarakat , oleh karena itu produsen disebut juga pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha pada tanggung jawab produk lebih khusus daripada pelaku perbuatan yang lebih umum pada perbuatan melawan hukum. Kekhususannya pada tanggung jawab produk, produsen adalah pelaku usaha karena melakukan kegiatan usaha bidang industri dan jasa, berbasis science and technology dan standar mutu produk, sdangkan pada perbuatan melanggar hukum, pelaku perbuatan dapat berupa siapa saja tanpa mempersoalkan keahlian tertentu.
b)     Perbuatan produsen.
Perbuatan produsen adalah suatu rangkaian kegiatan usaha yang bertujuan menghasilkan suatu produk yang berguna bagi kesajahteraan manusia. Kegiatan usaha tersebut merupakan suatu proses pengolahan bahan mentah menjadi produk siap pakai yang dapat dikonsumsi atau digunakan oleh manusia dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses pengolahan bahan mentah menjadi produk dapat dilakukan secara manufaktur, dafat juga secara nonmanufaktur . dalam proses ini kemungkinan dapat terjadi kesalaha atau kurang hati-hati yang dapat mengakibatkan standar mutu produk tidak terpenuhi sehingga muncul keadaan cacat produk.
c)      Produk hasil karya produsen.
Produk adalah hasil karya pelaku usaha yang dibuat melalui proses manufaktur atau nonmanufaktur dengan menggnakan alat tertentu. Didukung oleh keahlian khusus, pengalaman serta kejujuran berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tanggung jawab produk, perhatian terpokus pada kualitas poduk karya produsen  memenuhi atau tidak memenuhi tujuan pembuatannya bagi konsumen. Pada perbuatan melawang hukum, perhatian terfokus pada kualitas perbuatan pelaku yang merugikan orang lain.
d)     Produk cacat
Produk cacat (hidden defect), yakni tidak berfungsinya suatu produk sehingga tidak mencapai tujuan pembuatannya, sehingga tidak memenuhi nilai guna. Misalnya pada produk manufaktur, tidak berfungsinya produk karena kerusakan atau ketiadaan komponen pada produk. Pada produk jasa nonmanufaktur, tidak berfungsinya produk karena kesalahan instalasi atau konstruksi pada produk.
e)     Kerugian pada konsumen dan orang lain.
Cacat produk menimbulkan kerugian pada konsumen dan bisa orang lain pula. Konsumen yang dimaksud adalah setiap orang yang menggunakan, memakai, mengkonsumsi, atau menikmati produk karya produsen. Orang lain dimaksudkan adalah setiap yang ikut menderita kerugian akibat cacat produk yang digunakan, dipakai, dikonsumsi atau dinikmati oleh konsumen.
Ø  Bentuk tanggungjawab produk
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam   hukum tentang product liability adalah
a)     Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;
b)     Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
c)       Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjwaban.
Adapun bentuk pertanggung jawaban pelaku usaha dapat berupa :
a)      Penggantian produk cacat dengan produk tanpa cacat
b)      Produk manufaktur
c)      Penggantian uang biaya servis bagi produk manufaktur yang cacat karen tidak ada produk penggantinya
d)      Penggantian uang biaya pengobatan dan perawatan kepada konsumen yang dirugikan akibat mengkonsumsi produk cacat
Secara lengkap peraturan perundang-undangan dalam bidang perlindungan konsumen dapat dilihat pada perturan perundang-undangan sebagai berikut.
1.      UU No. 8 tahun 1999 tanggal 20  April 1999 tentang perlindunag konsumen.
2.      Penjelasan UU No. 8 tahun 1999 tanggal 20  April 1999 tentang perlindungan konsumen.
3.      PP No. 59 tahun 2001 tentang lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
4.      PP No. 58 tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Presiden Republik Indonesia.
5.      PP no. 57 Tahun 2001 tentang Badang Perlindungan Konsumen Nasional.
6.      Keppres RI No. 90 Tahun 2001 Tentang pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakara Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makasar.
7.      Kepmenperindag RI No. 605/MPP/Kep/8/2002 tentang pengangkatan aggota badan penyelesaian sengketa konsumen pada pemerintahan Kota Makasar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarat, Dan Kota Medan.
8.      Kepmenperindag RI No. 480/MPP/Kep/6/2002 tanggal 13 juni 2002 tentang Perubahan Atas  Kepmenperindag No 322/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
9.      Kepmenperindag RI No. 418/MPP/Kep4/2002 tangal 30 april 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.
10.  Kepmenperindag RI No. 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.


H. Pembinaan dan Pengawasan
1. pembinaan
          Didalam melakukan pembinaan maka pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaran perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakanya kewajiban konsumen dan pelaku usaha, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.Dalam pelaksanaannya Menteri tersebut melakukan koordinasi atas penyelenggaran perlindungan konsumen.
          Pembinaan penyelenggaran perlindungan konsumen tersebut meliputi upaya untuk :
a.       Terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen
b.      Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
c.       Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen   
2. pengawasan
          Pemerintah dalam hal ini Menteri atau Menteri teknis yang terkait bersama sama dengan masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakatlah yang melakukan pengawasan terhadap penyelengaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri teknis dalam hal ini adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidangnya masing-masing.
          Pengawasaan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar dipasar, dengan cara penelitian, pengujian, atau survei. Aspek pengawasan meliputi: penmuatan informasi tentang resiko pengunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktek dunia usaha.
            Apabila hasil pengawasan tersebut ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, maka Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

I.          BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL ( BPKN )
1.  Fungsi dan tugas
          Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian, operasional lembaga ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres Nomor 150 Tahun 2004.    
          BPKN yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia          .
          Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai pertimbangan bagi pemerintah untuk penyempurnaan Undang-undang Perlindungan Konsumen  .
          Fungsi dari badan Perlindungan Konsumen Nasional ini adalah memberikan saran dan pertimbangan kepeda pemerintah  dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
          Dan untuk menjalankan fungsinya tersebut maka Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas ( pasal 34 ) :
  1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen,
  2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen,
  3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen,
  4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
  5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen,
  6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan
  7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen
1.     Struktur organisasi dan keanggotaan
Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur. Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama.
          Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
    Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur Pemerintah, Pelaku Usaha, LPKSM, Akademisi dan Tenaga Ahli, yang saat ini keseluruhannya berjumlah 17 anggota serta dibantu beberapa staf sekretariat.
    Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
  1. Warga negara Republik Indonesia;
  2. Berbadan Sehat;
  3. Berkelakuan baik;
  4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan;
  5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
  6. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
          Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena :
  1. Meninggal dunia;
  2. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
  3. Bertempat tinggal diluar wilayah negara Republik Indonesia;
  4. Sakit secara terus menerus;
  5. Berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
  6. Diberhentikan.

Berkedudukan di Jakarta, BPKN telah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai Keputusan Ketua BPKN No. 02/BPKN/Kep/12/2004. Dalam memperlancar tugas dan fungsinya untuk pengembangan perlindungan konsumen, BPKN membentuk komisi-komisi, yaitu:
  1. Komisi I : Penelitian dan Pengembangan,
  2. Komisi II : Informasi, Edukasi dan Pengaduan
  3. Komisi III : Kerjasama

J. LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT
LPKSM adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan
 konsumen. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen
Tugas LPKSM, adalah
1.      Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajibandan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa
2.      Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen,
3.       Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,
4.      Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen
Saat ini LPKSM telah berkembang sebanyak kurang lebih 200 lembaga yang tersebar di berbagai propinsi, kabupaten dan kota. Namun lembaga yang telah memiliki TDLPK sebagai tanda diakuinya LPKSM tersebut bergerak di bidang perlindungan konsumen, hingga bulan Juli 2006 tercatat mencapai 107 LPKSM.
.LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat ( legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen ( LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum ( Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen) .

K. PENYELESAIA SENGKETA
Berdasarkan UU no. 8 tahun 1999 Pasal 45 sampai 58, penyelesaian sengketa konsumen, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
Bagian Pertama:
  1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
  2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
  3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
  4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
  1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
    1. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
    2. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
    3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
    4. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
  2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua:
Ø  Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Ø  Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.

L. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Berdasarkan UU no. 8 tahun 1999 Pasal 49 sampai 58, badan penyelesaian sengketa konsumen, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
  1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
  2. Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
    1. warga negara Republik Indonesia;
    2. berbadan sehat;
    3. berkelakuan baik;
    4. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
    5. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
    6. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
  3. Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
  4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
  5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
  1. ketua merangkap anggota;
  2. wakil ketua merangkap anggota;
  3. anggota.
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
  2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
  3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum.
BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha atau produsen yang diangkat atau diberhentikan oleh Menteri, dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa, melihat atau meminta tanda bayar, tagihan atau kuitansi, hasil test lab atau bukti-bukti lain, keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) bersifat mengikat dan penyelesaian akhir bagi para pihak.

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
  1. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
  2. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
  3. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
  4. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
  5. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  6. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
  7. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  8. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
  9. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
  10. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
  11. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
  12. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
  13. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
  1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
  2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
  3. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
  4. Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
Tugas dan Wewenang
Tugas BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah anggota majelis tiga orang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat.
Sengketa di antara konsumen dan produsen (dan pemerintah) biasanya nominalnya kecil atau nilai rupiahnya kecil, sehingga tidak selalu cocok jika harus diselesaikan melalui pengadilan.
UUPK mengatur bahwa sengketa konsumen dapat diselesaikan di luar pengadilan, misalnyamelalui BPSK.
Badan ini tugasnya, antara lain, menyelesaikan sengketa konsumen melalui mediasi, konsiliasidan arbitrase. BPSK juga memberikan konsultasi untuk perlindungan konsumen, mengontrol isi klausula baku, menyidik dan menguji sengketa perlindungan konsumen. Juga menerbitkan keputusan final dan mengikat paling tidak 21 hari kerja setelah gugatan diterima. Artinya jika keputusannya tidak dindahkan dapat dilaporkan kepada polisi untuk melakukan penyidikan terhadap kedua belah pihak.
Pemerintah akan membentuk BPSK hingga di setiap daerah administratif tingkat II. Anggota badan ini dapat berasal dari pemerintah, wakil konsumen, dan pengusaha. Jumlah anggota dari tiap kelompok paling kurang tiga dan paling banyak lima orang. Perjanjian dan pembatalan anggota diatur oleh Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Badan ini juga akan didukung oleh sekretariat yang memadai.
Pada pembentukan BPSK, baik yang ada di Tingkat II maupun yang ada di tingkat nasional haruslah diperhatikan sifat independensi anggota yang terlibat. Oleh karenanya, anggota yang duduk dalam badan ini harus diumumkan secara luas, terbuka, benar-benar memenuhi kriteria, punya integritas dan kejujuran dalam membela kepentingan konsumen. Sebaliknya usulan keberatan dari masyarakat harus mempunyai alasan yang jelas dan masuk akal.
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
  1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
  2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
  3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
  4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
  1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
  2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
  3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BPSK wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu duapuluh satu hari kerja setelah gugatan diterima; serta dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja sejak menerima putusan, para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu paling lambat empatbelas hari kerja sejak menerima pemberitahuan putusan dianggap menerima putusan BPSK dan apabila setelah batas waktu ternyata putusan BPSK tidak dijalankan oleh pelaku usaha, BPSK dapat menyerahkan putusan tersebut kepada pihak penyidik dengan penggunaan Putusan Majelis BPSK sebagai bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan dengan penggunaan Putusan majelis BPSK dapat dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Bantahan atas putusan Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan pelaku usaha dalam waktu paling lambat duapuluh satu hari sejak diterimanya keberatan dari pelaku usaha; dan terhadap putusan Pengadilan Negeri, para pihak dalam waktu paling lambat empatbelas hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia; kemudian Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat tigapuluh hari sejak menerima permohonan  kasasi.


M. TENTANG PENYIDIKAN
Berdasarkan UU no. 8 tahun 1999 Pasal 59, penyidikan, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
  1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
    6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
  3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan menegakkan Undang-Undang perlindungan konsumen di Indonesia, telah dilantik dan diambil sumpah masing-masing 36 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil perlindungan konsumen (PPNS-PK) dan 26 orang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perdagangan Dalam Negeri (PPNS-PDN). Pelantikan dan pengambilan sumpah yang dilakukan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan, Ardiansyah Parman, didasarkan pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor: AHU-77,78,79 dan 80.AH.09.01 Tahun 2008 tentang Pengangkatan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. PPNS-PK yang dilantik adalah para peserta pelatihan pola 400 JP yang bertugas mengemban dan mengawal UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Adapun PPNS-PDN adalah peserta diklat PPNS-PK pola 100 JP yang bertugas dan memiliki kewenangan mengawal 4 (empat) Undang-Undang, yaitu BRO 1934 tentang Penyaluran Perusahaan, Undang-Undang No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang No.3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Keberadaan PPNS-PK selain didasarkan pada Pasal 6 ayat (1) KUHAP juga didasarkan Pasal 59 ayat (1) UU-PK, sedangkan kewenangannya didasarkan pada pasal 59 ayat (2) UU-PK sebagai berikut:
1. Melaksanakan pengawasan khusus bersama PPBJ sebagai tindak lanjut pengawasan berkala terhadap barang yang beredar diduga tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat adanya dugaan terjadinyatindak pidana di bidang PK.
3. Mengkoordinasikan dengan instansi penegak hukum dalam menangani kasus
bidang PK.
4. Dengan bukti awal melakukan penyidikan  perkara di bidang PK.
PPNS-PK sesuai tugas dan fungsinya telah melakukan kegiatan pengawasan terhadap produk-produk hasil Industri, Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAHH), produk Industri Elektronika, Logam, Mesin dan Aneka (ILMEA) serta produk Jasa. penyidikan telah dilakukan terhadap produk tepung terigu, ban kendaraan bermotor, telepon selular dan cara menjual produk elektronik alat rumah tangga dan kesehatan. Kedepan, kewenangan besar yang dimiliki PPNS-PK ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan/atau jasa dapat diwujudkan. Dalam arahannya kepada para PPNS-PK dan PPNS-PDN yang dilantik


N. TENTANG SANKSI
Berdasarkan UU no. 8 tahun 1999 Pasal 60 sampai 63, sanksi, antara lain dijelaskan sebagai berikut.
Ø  Sanksi Administratif
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
  2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Ø  Sanksi Pidana
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
  1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
  1. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.





Comments